Total Tayangan Halaman

Jumat, 02 November 2012

DIKSI


Pengertian diksi adalah pilihan kata. Maksudnya, kita memilih kata yang tepat untuk menyatakan sesuatu. Pilihan kata merupakan satu unsur sangat penting, baik dalam dunia karang-mengarang maupun dalam dunia tutur setiap hari. Dalam memilih kata yang setepat-tepatnya untuk menyatakan suatu maksud, kita tidak dapat lari dari kamus. Kamus memberikan suatu ketepatan kepada kita tentang pemakaian kat-kata. Dalam hal ini, makna kata yang tepatlah yang diperlukan
Kata yang tepat akan membantu seseorang mengungkapkan dengan tepat apa yang ingin disampaikannya, baik lisan maupun tulisan. Di samping itu, pemilihan kata itu harus pula sesuai dengan situasi dan tempat penggunaan kata-kata itu.
Hal yang utama mengenai diksi adalah
1.Pilihan kata atau diksi mencakup pengertian kata-kata mana yang dipakai untuk menyampaikan suatu gagasan, bagaimana membentuk pengelompokan kata-kata yang tepat atau menggunakan ungkapan-ungkapan yang tepat, dan gaya mana yang paling baik digunakan dalam suatu situasi.
2.Pilihan kata atau diksi adalah kemampuan membedakan secara tepat nuansa-nuansa makna dari suatu gagasan yang ingin disampaikan, dan kemampuan untuk menemukan bentuk yang sesuai (cocok) dengan situasi dan nilai rasa yang dimiliki kekompok masyarakat pendengar.
3.Pilihan kata yang tepat dan sesuai hanya dimungkinkan oleh penguasaan sejumlah besar kosa kata atau pembendaharaan kata bahasa itu. Sedangkan yang dimaksud perbendaharaan kata atau kosa kata suatu bahasa adalah keseluruhan kata yang dimiliki oleh sebuah baha


1. Pengertian Diksi

Dalam KBBI (2002 : 264) diksi diartikan sebagai pilihan kata yang tepat dan selaras dalam penggunaannya untuk mengungkapkan gagasan sehingga diperoleh efek tertentu seperti yang diharapkan. Dari pernyataan itu tampak bahwa penguasaan kata seseorang akan mempengaruhi kegiatan berbahasanya, termasuk saat yang bersangkutan membuat karangan.

Setiap kata memiliki makna tertentu untuk membuat gagasan yang ada dalam benak seseorang. Bahkan makna kata bisa saja “diubah” saat digunakan dalam kalimat yang berbeda. Hal ini mengisyaratkan bahwa makna kata yang sebenarnya akan diketahui saat digunakan dalam kalimat. Lebih dai itu, bisa saja menimbulkan dampak atau reaksi yang berbeda jika digunakan dalam kalimat yang berbeda.

Berdasarkan hal itu dapat dikatakan bahwa diksi memegang tema penting sebagai alat untuk mengungkapkan gagasan dengan mengharapkan efek agar sesuai.

2. Ketepatan dan Kesesuaian Penggunaan Diksi

Pemakaian kata mencakup dua masalah pokok, yakni pertama, masalah ketepatan memiliki kata untuk mengungkapkan sebuah gagasan atau ide. Kedua, masalah kesesuaian atau kecocokan dalam mempergunakan kata tersebut. Menurut keraf (2002 : 87) “Ketepatan pilihan kata mempersoalkan kesanggupan sebuah kata untuk menimbulkan gagasan-gagasan yang tepat pada imajinasi pembaca atau pendengar, seperti apa yang dipikirkan atau dirasakan oleh penulis atau pembaca”. Masalah pilihan akan menyangkut makna kata dan kosakatanya akan memberi keleluasaan kepada penulis, memilih kata-kata yang dianggap paling tepat mewakili pikirannya. Ketepan makna kata bergantung pada kemampuan penulis mengetahui hubungan antara bentuk bahasa (kata) dengan referennya.

Seandainya kita dapat memilih kata dengan tepat, maka tulisan atau pembicaraan kita akan mudah menimbulkan gagasan yang sama pada imajinasi pembaca atau pendengar, seperti yang dirasakan atau dipikirkan oleh penulis atau pembicara. Mengetahui tepat tidaknya kata-kata yang kita gunakan, bisa dilihat dari reaksi orang yang menerima pesan kita, baik yang disampaikan secara lisan maupun tulisan. Reaksinya bermacam-macam, baik berupa reaksi verbal, maupun reaksi nonverbal seperti mengeluarkan tindakan atau perilaku yang sesuai dengan yang kita ucapkan. Agar dapat memilih kata-kata yang tepat, maka ada beberapa syarat yang harus diperhatikan berikut ini.

a. Kita harus bisa membedakan secara cermat kata-kata denitatif dan konotatif; bersinonim dan hampir bersinonim; kata-kata yang mirip dalam ejaannya, seperti :bawa-bawah, koorperasi-korporasi, interfensi-interferensi, dan

b. Hindari kata-kata ciptaan sendiri atau mengutip kata-kata orang terkenal yang belum diterima di masyarakat.

c. Waspadalah dalam menggunaan kata-kata yang berakhiran asing atau bersufiks bahasa asing, seperti :Kultur-kultural, biologi-biologis, idiom-idiomatik, strategi-strategis, dan lain-lain

d. Kata-kata yang menggunakan kata depan harus digunbakan secara idiomatik, seperti kata ingat harus ingat akan bukan ingat terhadap, membahayakan sesuatu bukan membahayakan bagi, takut akan bukan takut sesuatu.

e. Kita harus membedakan kata khusus dan kata umum.

f. Kita harus memperhatikan perubahan makna yang terjadi pada kata-kata yang sudah dikenal.

g. Kita harus memperhatikan kelangsungan pilihan kata.

3. Kata dan Gagasan

Dalam berkomunikasi , setiap orang menggunakan kata (bahasa). Para linguis sampai sekarang masih memperbincangkannya karena belum ada batasan yang mutlak tentang itu. Istilah kata bisa digunakan oleh para tatabahasawan tradisional. Menurut mereka, kataadalah satuan bahasan yang memiliki satu pengertian atau kata adalah deretan huruf yang diapit oleh dua buah spasi, dan mempunyai satu arti. Para tatabahasawan struktural, penganut aliran Bloomfield menyebutnya morfem. Batasan kata yang dibuat Bloomfield sendiri, yakni kata adalah satuan bebas terkecil (a minimal free form)(chaer, 1994 : 162-163)

Yang paling penting dari rangkaian kata-kata itu adalah pengertian yang tersirat di balik kata-kata yang digunakan. Setiap orang yang terlibat dalam berkomunikasi harus saling memahami atau saling mengerti, baik pembicara maupun pendengar, pengertian yang tersirat dalam sebuah kata itu mengandung makna bahwa tiap katamengungkapkan sebuah gagasan atau sebuah ide. Dengan kata lain, kata adalah media yang digunakan untuk menyampaikan gagasan atau ide kepada orang lain. Menurut Keraf (2002:21)”Kata-kata ibarat”pakaian” yang dipakai oleh pikiran kita. Tiap kata memiliki “jiwa”. Setiap anggota masyarakat harus mengetahui “jiwa”, agar ia dapat menggerakkan orang lain dengan “jiwa” dari kata-kata yang dapatdigunakannya:.

Kata dengan gagasan mempunyai hubungan ketergantungan. Orang yang mempunyai banyak gagasan pasti mempunyai banyak kata yang dikuasai seseorang, semakin banyak ide atau gagasan yang bisa diungkapkannya. Orang yang banyak menguasasi kosakata akan merasa mudah dan lancar berkomunikasi dengan orang, lain. Seringmkita sering tidak memahami pembicaraan orang lain, karena kita tidak atau kurang menguasai kata-kata atau gagasan seperti yang dikuasai oleh pembicara.

4. Pilihan Kata

Pilihan akat atau diksi bukan hanya memilih kata-katayang cocok dan tepat untuk digunakan dalam mengungkapkan gagasan atau ide, tetapi juga menyangkut persoalan fraseologi (cara memakai kata atau frase di dalam konstruksi yang lebih luas, baik dalam bentuk tulisan maupun ujaran), ungkapan, dan gaya bahasa. Fraseologi mencakup persoalan kata-kata dalam pengelompokan atau susunannya, atau menyangkut cara-cara yang khusus berbentuk ungkapan-ungkapan. Pemilihan gaya bahasa yang akan digunakan pun merupakan kegiatan memilih kata menyangkut gaya-gaya ungkapan secara individu.

Orang yang banyak menguasai kosakata akan lebih mudah memilih kata-kata yang tepat untuk digunakan dalam menyampaikan gagasannya. Orang yang kurang banyak menguasai kosakata terkadang tidak bisa menempatkan kata terutama yang bersinonim, seperti kata meneliti sama artinya dengan kata menyelidiki, mengamati, dan menyidik. Kata0kata turunannya penelitian, penyelidikan, pengamatan, dan penyidikan. Orang yang menguasai banyak kosakata tidak akan menerima bahwa kata-kata tersebut mengandung arti yang sama, karena bisa menempatkan kata-kata itu dengan cermat sesuai dengan konteksnya. Sebaliknya orang yang tidak menguasai kosakata akan mengalami kesulitan karena tidak mengetahui ada kata yang lebih tepat, dan tidak mengetahui ada perbedaan dari kata-kata yang bersinonim itu. Dengan demikian, menurut Keraf (2002: 14) diksi :

a. Mencakup pengertian kata-kata yang fipakai untuk menyampaikan suatu gagasan, cara menggabungkan kata-kata.

Yang tepat, dan gaya yang paling baik digunakan dalam situasi tertentu;

b. Diksi adalah kemampuan secara tepat membedakan nuansa-nuansa makna dari gagasan yang ingin disampaikan, dan kemampuan untuk menemukan bentuk yang sesuai dengan situasi dan nilai rasa yang dimiliki kelompok masyarakat pendengar atau pembaca; dan

c. Diksi yang tepat dan sesuai hanya dimungkinkan oleh penguasaan kosakata yang banyak.

5. Makna Kata dan Jenisnya

Kata yang merupakan satuan bebas terkecil mempunyai dua aspek, yakni aspek bentuk atau ekspresi dan aspek isi atau makna. Bentuk bahasa adalah sesuatu yang dapat dicerna oleh pancaindra, baik didengan maupun dilihat. Isi atau makna adalah segi yang menimbulkan reaksi atau respon dalam pikiran pendengar atau pembaca karena rangsangan atau stimulus aspek bentuk tadi. Kalau seseorng berkata, “pergi!” kepada kita, maka akan timbul reaksi dalam pikiran kita diam sekarang”. Dengan demikian, kata pergi merupakan bentuk atau ekspresi dan isinya atau maknanya merupakan reaksi seseorang atas perintah tadi.

Wujud reaksi itu bermacam-macam yakni berupa tindakan atau perilaku, berupa pengertian, serta berupa pengertian dan tindakan. Hal ini bergantung pada apa yang didengarnya, dengan kata lain respons akan muncul berdasarkan stimulusnya. Dalam berkomunikasi tidak hanya berhadapan dengan kata, tetapi juga berhadapan dengan serangkaian kata yang mengusung amanat. Dengan demikian, ada beberapa unsur yang terkandung dalam ujaran itu yaitu : pengertian, perasaan, nada, dan tujuan. Keempat unsur ini merupakan usaha untuk memahami makna. Untuk lebih kelasnya mari kita bahan satu persatu.

a. Pengertian merupakan landasan dasar untuk menyampaikan sesuatu kepada pendengar atau pembaca dengan mengharapkan suatu perilaku;

b. Perasaan merupakan ekspresi pembicara terhadap pembicaraanya, hal ini berhubungan dengan nilai rasa terhadap hal yang dikatakan pembicara;

c. Nada mencakup sikap pembicara atau penulis kepada pendengar pembacaanya; dan

d. Tujuan yaitu sesuatu yang ingin dicapai oleh pembicara atau penulis.

Makna kata merupakan hubungan antara bentuk dengan sesuatu yang diwakilinya atau hubungan lambang bunyi dengan sesuatu yang di acunya. Kata kuda merupakan bentuk atau ekspresi “sesuatu yang diacu oleh kata kuda” yakni “seeekor binatang yang tinggi-besar, larinya kencang dan biasa ditunggangi”.kedua istilah yang disbut referen. Hubungan antara bentuk dan referen akan menimbulkan makna atau referensi.

Makna kata pada umumnya terbagi atas dua macam yakni makna denotatif dan makna konotatif. Kata-kata yang bermakna denotatif biasa digunakan dalam bahasa ilmiah yang bersifat tugas atau tidak menimbulkan interpretasi tambahan. Makn denotatif disebut juga dengan istilah; makna denatasional, makna kognitif, makna konseptual, makna konseptual, makna ideasional, makna referensial, atau makna proposional (Keraf, 2002:208). Disebut makna denotasional, konseptual, referensial dan ideasional, karena maknamitu mengacu pada referen, konsep atau ide tertentu dari suatu referen. Disebut makna kognitif karena makna itu berhubungan dengan kesadarn, pengetahuan dan menyangkut rasio manusia.

Karena adanya bermacam-macam makna, maka penulis harus hati-hati dalam memilih kata yang digunakan. Sebenarnya memilih kata-kata bermakna denotatif lebih mudah daripada memilih kata-kata bermakna konotatif. Seandainya ada kesalahan dalam penulisan denotasi, mungkin karena adanya kekeliruan disebabkan oleh kata-kata yang mirip karena masalah ejaan. Kata-kata yng mirip itu seperti : gajig-gaji, darah-dara, interferensi-interfensi, dan bawah-bawa. Untuk lebih jelasnya, makna denotatif dapat dibedakan menjadi dua macam hubungan antara sebuah kata dengan barang individual yang diwakilinya. Kedua, hubungan sebuah kata dengan ciri-ciri atau perwatakan tertentu dari barang yang diwakilinya.

Makna konotatif atau sering juga disebut makna kiasan, makna konotasional, makna emotif, atau makna evaluatif. Makna konotatif adalah suatu jenis makna dimana stimulus dan respons mengandung nilai-nilai emosional. Kata-kata yang bermakna konotatif atau kiasan biasanya dipakai pada pembicaraan atau karangan nonilmiah, seperti: berbalas pantun, peribahasa, lawakan, drama, prosa, puisi, dan lain-lain. Karangan nonilmian sangat mementingkan nilai-nilai estetika. Nilai estetika dibangun oleh bahasa figuratif dengan menggunakan kata-kata konotatif gar penyampaian pesan atau amanat itu terasa indah. Pada karangan ini kurang memperhatikan keakuratan informasi dan kelogisan makna. Dalam menyampaikan pesan ada dua macam cara. Pertama, penyampaian pesan secara langsung. Penyampaian pesan secara langsung hampir sama dengan penyampaian pesan (informasi) dalam karangan tidak langsung harus menggunakan bahasa figuratif dengan kata-kata konotatif. Kita tidak akan bisa langsung memahami pesan atau amanat yang ingin disampaikan oleh pengarang kalau tidak mempunyai kemampuan mengapresiasinya.

Berikut kata-kata denotasi dan konotasi:

- Dia cantik seperti ibunya (denotatif)

- Dia cantik bagaikan bunga (konotatif)

- Beliau telah wafat tiga tahun yang lalu (denotatif)

- Beliau tekah mangkat tiga tahun yang lalu (konotatif)

- Kolam itu luasnya seratus meter persegi (denotatif)

- Kolam itu luas sekali (konotstif)

- Sebanyak seratus ribu orang yang menonton pertandingan sepakbola (denotatif)

- Membeludak penonton yang ingin menyaksikan pertandingan sepak bola (konottif

6. Kata Umum dan Kata Khusus

Kata umum adalah kata-kata yang pemakaian dan maknanya bersifat umum dan mencakup bidang yang luas, sedangkan kata yang khusus adalah kata-kata yang pemakaian dan maknanya terbatas pada suatu bidang tertentu.

Contoh : Kata Umum Kata Khusus

Miskin gelandangan, yatim piatu

Melihat menjenguk, menengok, melayat

Menatap, menoleh, mengamati

Besar raya, akbar, agung

Contoh :

a. Saya ngin menjadi sarjana pendidikan, oleh karena itu sekarang kuliah di FKIP Uninus

Saya ingin menjadi seorang hakim oleh karena itu sekarang kuliah Fakultas Hukum

b. Orang tua kami anggota Korpri. (umum)

Ibu saya seorang guru SD (khusus)

7. Perubahan Makna Kata

Bahasa bersifat dinamis sehingga dapat menimbulkan kesulitan bagi pemakai yang kurang mengikuti perubahannya. Ketepatan suatu kata untuk mewakili atau melambangkan suatu benda, peristiwa, sifat, dan keterangan, bergantung pada maknanya, yakni hubungan antara lambang bunyi (bentuk/kata) dengan referennya.

Perubahan makna kata bukan hanya ditentukan oleh perubahan jaman (waktu), melain juga disebabkan oleh tempat bahasa itu tumbuh dan berkembang. Makna bahasa mula-mula dikenal oleh masyarakatnya, tetapi pada suatu waktu akan bergeser maknanya pada suatu wilayah yang lain masih mempertahankan makna yang aslinya. Oleh karena itu, kita harus berhati-hati dalam menggunakan atau memilih kata apalagi dalam hal-hal yang bersifat nasional (masalah tempat), terkenal, dan sementara belangsung (masalh waktu)”. Para mahasiswa yang membuat katya ilmiah, yang tulisannya bisa dibaca dalam taraf nasional harus menggunakan kata yang bersifat nasional, terkenal dan masih dipakai masyarakat.

Sebelum Perang dua Ke II kita mengenal kata daulat, dalam KBBI (2001: 240) mengandung arti: “1. berkat kebahagiaan (yang adal pada raja); bahgia; 2. kekuasaan; pemerintah. Kata ini digunakan dalam kalimat ,”Penyerahan kedaulatan Republik Indonesia; Negara Republik Indonesia yang merdeka berdaulat. Tetapi pada waktu revolusi fisik kata daulat bermakna lain yakni, merebut hk dengan tidak sah, memecat dengan paksa. Misalnya: tanah-tanah Belanda banyak yang didaulatoleh rakyat; gubernur itu didaulat tidak dipakai lagi, sehingga kata itu hampir mati meskipun dalam KBBI masih tercantum tetapi sudah jarang pemakainya.

8. Diksi dalam Kalimat

Diksi dalam kalimat adalah pilihan kata yang tepat untuk ditempatkan dalam kalimat sesuai makna, kesesuaian, kesopanan, dan bisa mewakili maksud atau gagasan. Makna kata itu secara leksikal banyak yang sama, tetapi penggunaanya tidak sama. Seperti kata penelitian, penyelidikan. Kata-kata tersrbut bersinonim (mempunyai arti yang sama), tetapi tidak bisa ditempatkan dalam kalimat yang sama. Contoh dalam kalimat; “Mahasiswa tingkat akhir harus mengadakan penelitian untuk membuat karya ilmiah sebagai tugas akhir dalam studinya”;”Penyelidikan kasus penggelapan uang negara sudah dimulai”; Berdasarkan pengamatan saya situasi belajar di kelas A cukup kondusif; Berdasarkan hasil penyidikan polisi, ditemukan fakta-fakta yang memperkuat dia menjadi tersangka. Keempat kata dalam kalimat-kalimat itu tidak bisa dtukar. Seandainya ditukar, tidak akan sesuai sehungga akan membingungkan pendengar atau pembaca. Dari segi kesopanan, kata mati, meninggal, gugur, mangkat, wafat, dan pulang ke rahmatullah,dipilih berdasarkan jenis mahluk, tingkat sosial, dan waktu. Contoh : Kucing saya mati setelah makan ikan busuk; Ayahnya meninggal tadi malam; Pahlawanku gugur di medan laga; Beliau wafat 1425H. Frase biasa dipakai dalam bewara kematian di surat kabar, seperti”…telah pulang ke rahmatullah kakek Jauhari….”. dari segi makna, kta islam dan muslim sering salah penggunaanya dalam kalimat. Kita pernah mendengar orang berkata, “Seelah menjadi Islam dia rajin bersedekah”. Seharusnya, “Setelah masuk Islam dia rajin bersedekah”. Kalau mau menggunakan kata menjadi maka selanjutnya harus menggunakan kata muslim. Contoh, “Setelah menjadi muslim dia rajin bersedekah”. Islam adalah nama agama yang berarti lembaga, sedangkan muslim adalah orang yang beragama Islam. Kata menjadi dapat dipasangkan dengan orangnya dan kata masuk tepat dipasangkan dengan lembaganya.

Satu Orang Satu Pohon

Ada yang tidak beres dalam perjalanan saya menuju Jakarta. Di sepanjang jalan menuju gerbang tol Pasteur, saya melihat pokok-pokok palem dalam kondisi terpotong-potong, tersusun rapi di sanasini, apakah ini jualan khas Bandung yang paling baru? Sayup, mulai terdengar bunyi mesin gergaji. Barulah saya tersadar. Sedang dilakukan penebangan pohon rupanya. Dari diameter batangnya, saya tahu pohon-pohon itu bukan anak kemarin sore. Mungkin umurnya lebih tua atau seumur saya. Pohon palem memang pernah jadi hallmark Jalan Pasteur, tapi tidak lagi. Setidaknya sejak hari itu.

Hallmark Pasteur hari ini adalah jalan layang, Giant, BTC, Grand Aquila, dan kemacetan luar biasa. Bukan yang pertama kali penebangan besar-besaran atas pohon-pohon besar dilakukan di kota kita. Seribu bibit jengkol pernah dipancangkan sebagai tanda protes saat pohon-pohon raksasa di Jalan Prabudimuntur habis ditebangi. Jalan Suci yang dulu teduh juga sekarang gersang. Kita menjerit sekaligus tak berdaya. Bukankah harus ada harga yang dibayar demi pembangunan dan kemakmuran Bandung? Demi jumlah penduduknya yang membuncah? Demi kendaraan yang terus membeludak? Demi mobil plat asing yang menggelontori jalanan setiap akhir pekan? Beda dengan sebagian warganya, pohon tidak akan protes sekalipun ratusan tahun hidupnya disudahi dalam tempo sepekan.

Pastinya lebih mudah menebang pohon daripada menyumpal mulut orang.  Seorang arsitek legendaris Bandung pernah berkata, lebih baik ia memeras otak untuk mendesain sesuai kondisi alam ketimbang harus menebang satu pohon saja, karena bangunan dapat dibangun dan diruntuhkan dalam sekejap, tapi pohon membutuhkan puluhan tahun untuk tumbuh sama besar. Sayangnya, pembangunan kota ini tidak dilakukan dengan paham yang sama.

Para pemimpin dan perencana kota ini lupa, ukuran keberhasilan sebuah kota bukan kemakmuran dadakan dan musiman, melainkan usaha panjang dan menyicil agar kota ini punya lifetime sustainability sebagai tempat hidup yang layak dan sehat bagi penghuninya. Bandung pernah mengeluh kekurangan 650.000 pohon, tapi di tangannya tergenggam gergaji yang terus menebang. Tidakkah ini aneh? Tak heran, rakyat makin seenaknya, yang penting dagang dan makmur. Bukankah itu contoh yang mereka dapat? Yang penting proyek 'basah' dan kocek tambah tebal. Proyek hijau mana ada duitnya, malah keluar duit. Lebih baik ACC pembuatan mall atau trade centre. Menjadi kota metropolis seolah-olah pilihan tunggal. Kita tidak sanggup berhenti sejenak dan berpikir, adakah identitas lain, yang mungkin lebih baik dan lebih bijak, dari sekadar menjadi metropolitan baru? Saya percaya perubahan bisa dilakukan dari rumah sendiri, tanpa harus tunggu siapa-siapa. Jika kita percaya dan prihatin Bandung kekurangan pohon, berbuatlah sesuatu. Kita bisa mulai dengan Gerakan Satu Orang Satu Pohon.

Hitung jumlah penghuni rumah Anda dan tanamlah pohon sebanyak itu. Tak adanya pekarangan bukan masalah, kita bisa pakai pot, ember bekas, dsb. Mereka yang punya lahan lebih bisa menanam jumlah yang lebih juga. Anggaplah itu sebagai amal baik Anda bagi mereka yang tak bisa atau tak mau menanam. Pesan moralnya sederhana, kita bertanggung jawab atas suplai oksigen masing-masing. Jika pemerintah kota ini tak bisa memberi kita paru-paru kota yang layak, tak mampu membangun tanpa menebang pohon, mari perkaya oksigen kita dengan menanam sendiri.

Ajarkan ini kepada anak-anak kita. Tumbuhkan sentimen mereka pada kehidupan hijau. Bukan saja anak kucing yang bisa jadi peliharaan lucu, mereka juga bisa punya pohon peliharaan yang terus menemani mereka hingga jadi orangtua. Mertua saya punya impian itu. Di depan rumah yang baru kami huni, ia menanam puluhan tanaman kopi. Beliau berharap cucunya kelak akan melihat cantiknya pohon kopi, dengan atau tanpa dirinya. Sentimen sederhananya tidak hanya membantu merimbunkan Bukit Ligar yang gersang, ia juga telah membuat hallmark memori, antara dia dan cucunya, lewat pohon kopi. Kota ini boleh jadi amnesia. Demi wajahnya yang baru (dan tak cantik), Bandung memutus hubungan dengan sekian ratus pohon yang menyimpan tak terhitung banyaknya memori. Kota ini boleh jadi menggersang. Jumlah taman bisa dihitung jari, kondisinya tak menarik pula. Namun mereka yang hidup di kota ini bisa memilih bangun dan tak ikut amnesia. Hati mereka bisa dijaga agar tidak ikut gersang.

Rumah kita masih bisa dirimbunkan dengan pohon dan aneka tanaman. Besok, atau lusa, siapa tahu? Bandung tak hanya beroleh 650.000 pohon baru, melainkan jutaan pohon dari warganya yang tidak memilih diam.